"Dispereert niet, onziet uw vijanden niet, want God is met ons"

- Jan Pieterszoon Coen (1587 - 1629)

Selasa, 12 Januari 2016

Politieke Inlichtingen Dienst

Sekolah pendidikan anggota Politieke Inlichtingen Dienst di Sukabumi, 1927



Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Intelijen Politik, beberapa sumber menyebutnya Dinas Informasi Politik) atau disingkat dengan istilah PID, adalah lembaga agen keamanan di Hindia Belanda, yang boleh dikatakan sebagai polisi rahasia untuk urusan kegiatan politik di Hindia Belanda. Sebagai polisi rahasia “andalan” pemerintah Hindia Belanda, PID sangat dibutuhkan untuk memata-matai kegiatan dari setiap pergerakan nasional yang ada di Hindia Belanda. Laporan yang diperoleh dari PID akan dijadikan dasar bagi pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan tindakan terhadap setiap pergerakan nasional.

Kemunculan PID diawali dengan gagasan pembentukan Kantoor Inlichtingen pada tahun 1914, yang berada di bawah komando KNIL. Saat itu pemerintah Hindia Belanda membutuhkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai gerak-gerik agen Jepang di Hindia Belanda. Namun, tampaknya kebutuhan akan menghadapi pergerakan-pergerakan nasional yang mulai marak lebih dipentingkan. PID pun dibentuk pada tanggal 6 Mei 1916 sebagai jawaban untuk kebutuhan pemerintah Hindia Belanda.


PID di Masa Hindia Belanda
Meski difokuskan pada masalah kegiatan politik bumiputera di dalam Hindia Belanda, namun PID juga diberikan “beban” untuk mengantisipasi ancaman yang datang dari luar Hindia Belanda. Meski sempat dibubarkan pada 2 April 1919, PID dibentuk lagi dengan nama baru yakni Algemene Recherche Dienst (ARD) pada 24 September 1919. Para aktivis pergerakan dan pers tetap mengenalnya dengan nama angker sebelumnya, “PID”.

PID/ARD selain berpusat di Batavia juga memiliki cabang di kota besar lain di Jawa, seperti di Bandung, Semarang dan Surabaya. Namanya pun berbeda-beda. Di Batavia dikenal dengan Politieke Recherche, di Bandung dikenal dengan Afdeling Vreemdelingen en Inlichtingendienst. Sementara di Semarang dan Surabaya, PID/ARD sama dikenal dengan Politieke Inlichtingen Dienst. Sementara di daerah-daerah lainnya, setelah reorganisasi polisi dibentuk pula Gewestelijke Recherche (Reserse Wilayah). GW ini difokuskan pada mata-mata terhadap kegiatan pergerakan atau politik bumiputera di daerah khususnya Jawa dan Madura. Secara struktural, PID/ARD berada di bawah wilayah kerja kepolisian di bawah yuridiksi Jaksa Agung. Jaksa Agung akan menjadikan setiap laporan PID sebagai dasar untuk mengambil tindakan yang diperlukan atas pergerakan nasional yang dianggap membahayakan.

Mereka yang bekerja pada PID justru adalah orang-orang pribumi. Hal ini dikarenakan agar lebih mudah memata-matai pergerakan nasional yang ada. Mereka berpakaian seperti penduduk sipil lainnya, tanpa seragam khusus. Dalam hal kepangkatan, mereka mengambil dari Pangreh Praja, seperti Wedana dan Asisten Wedana. Di bawah mereka ada orang-orang berpangkat Mantri Polisi. Di bawah Mantri Polisi ada para agen yang nantinya akan turun ke lapangan. Selain mengandalkan agen, PID juga membuka kesempatan bagi mereka yang mau menjadi informan lepas dengan bayaran yang sesuai dengan nilai informasi yang diberikan. Para informan lepas ini dikenal dengan sebutan Spionnen. Rata-rata para informan lepas ini berasal dari kalangan bawah dan para preman.

Adapun tugas-tugas PID di antaranya adalah memeriksa tokoh-tokoh pergerakan nasional yang baru pulang dari luar negeri, menyita majalah-majalah yang dianggap mengganggu ketertiban umum, menangkap tokoh-tokoh pergerakan nasional (jika ada surat perintah penangkapan dari pemerintah Hindia Belanda), menginterupsi pidato para tokoh nasional apabila dianggap mengganggu ketertiban umum, serta membubarkan rapat partai jika diperlukan.

Salah satu tugas PID dapat diketahui dari pidato Ir. Soekarno dalam rapat PNI (Partai Nasional Indonesia) di akhir tahun 1928. Sejak awal memasuki rapat bersama para tokoh lainnya, agen dan mata-mata PID sudah menimbulkan ketidaknyamanan di antara para peserta rapat. Beberapa kali pula pidato beliau diinterupsi, yang kemudian para peserta rapat menyoraki para agen dan mata-mata PID yang ikut hadir. Mereka juga tidak berdiri menghormat ketika lagu kebangsaan diperdengarkan. Hal serupa berlaku untuk pergerakan nasional lainnya seperti SI (Sarekat Islam), PI (Perhimpunan Indonesia), Partindo (Partai Indonesia) dan lain-lain.

Dalam beberapa surat kabar di zaman Hindia Belanda dapat diketahui tugas PID. PID juga mempererat kerjasama dengan Militaire Inlichtingen Dienst (Soerabaijasch Nieuwsblaad, 13/8/1936), melakukan pengawasan terhadap organisasi-organisasi yang dicurigai seperti Vereeniging van Jong Arabieren Alkateria yang belakangan tidak terbukti (Indische Courant, 19/10/1936), dan penyelidikan terhadap Vereeniging Sasa Asma di Kutoarjo yang melakukan mogok bersama di Magelang dan Brebes (Sumatra Post, 21/4/1939). Dua orang pembicara yang akan berpidato dalam Grebeg Besar di Surabaya juga diperingatkan untuk tidak berbicara tentang politik (Het Vaderland, 13/8/1936).

Pengawasan terhadap barang-barang cetakan juga dilakukan, terutama yang dianggap membahayakan pemerintahan Hindia Belanda. Buku “Blut und Ehre” karya seorang penulis Nasionalis-Sosialis Alfred Rosenberg termasuk dalam kategori tersebut (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28/3/1939). Tak ketinggalan pula surat kabar Keng Po edisi nomor khusus “Lu Kou Chiao” yang berisikan tentang peringatan serangan Jepang atas China (Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 8/7/1937).

PID di Masa Perang Dunia II
Setelah Hindia Belanda diduduki Jepang, segala bentuk administrasi pemerintahan dan kemiliteran Belanda berpindah ke Australia. Kekosongan kekuasaan yang tidak lama itu diambil alih oleh Jepang. Tentara pendudukan Jepang kemudian membentuk Gunseibu. Gunseibu adalah pemerintahan sipil militer di wilayah pendudukan yang para pejabatnya diisi oleh orang-orang Jepang, yang menangani masalah teknik, ekonomi, dan hukum. Tentu saja pejabat yang dipilih adalah orang-orang militer Jepang yang “meninggalkan” tugasnya untuk menangani pemerintahan sipil militer tersebut.

Kehadiran Kenpeitai sebagai polisi yang menakutkan bagi masyarakat wilayah pendudukan rupanya dirasa kurang cukup bagi Gunseibu di Indonesia. Mereka pun menarik orang-orang PID yang lama maupun baru untuk dipekerjakan. Bagi mereka yang masih baru, mereka dilatih dan dididik ala Jepang di Sukabumi.

Sementara itu, segera setelah evakuasi ke Australia, Belanda membentuk kembali dinas intelijen yang berada di bawah komando Laksamana Emil Helfrich. Dinas intelijen ini dikenal dengan NEFIS (Netherland East Indies Force Intelligent Service). NEFIS berpusat di Melbourne, Australia. Ada dua divisi NEFIS yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda. NEFIS I bertugas dan bertanggung jawab untuk laporan militer, sementara NEFIS II bertugas dan bertanggung jawab untuk keamanan.


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar