Monumen Peringatan Hukuman Terhadap Pieter Erberveld
(Collectie Tropenmuseum, 1932)
Lelaki itu bernama Pieter Erberveld (Pieter
Erberfeld/Pieter Elberfeld). Seorang lelaki yang pernah hidup di Batavia ketika
VOC masih berkuasa. Namanya memang terkenal hingga masa kini. Namun,
terkenalnya orang ini bukan karena berjasa kepada VOC. Pieter Erberveld menjadi
terkenal karena tertangkap dan dieksekusi, terkait tuduhan merencanakan makar
luar biasa terhadap orang-orang Belanda di Batavia. Bahkan, ratusan tahun
setelah kematiannya pun tuduhan itu tetap melekat pada sosoknya.
Pieter Erberveld, adalah seorang lelaki keturunan
Jerman yang memiliki kepedulian besar terhadap orang-orang pribumi. Karena
itulah ketika VOC menyita lahan dengan alasan tidak memiliki akta tanah yang
sah, orang-orang pribumi kompak berdiri dan mendukungnya, meski kemudian
penyitaan tetap dilakukan. Karena kepeduliannya itu pula, tercipta sebuah
ikatan antara dirinya dengan orang-orang pribumi. Mengenai siapa sebenarnya
Pieter Erberveld, ada dua versi yang hampir sama. Ayahnya, Pieter Erberveld Sr.
memang berasal dari Jerman, dan berprofesi sebagai pengusaha kulit binatang.
Adolf Heuken menyebutkan bahwa ibu Pieter Elberveld adalah orang Siam
(Thailand). Seorang sejarawan Betawi, Alwi Shahab menyebutkan bahwa ibu Pieter
Elberveld adalah seorang wanita Jawa.
Jika merujuk pada Alwi Shahab, bisa dipastikan
timbulnya ikatan antara Pieter Elberveld dengan orang-orang pribumi karena
statusnya yang keturunan pribumi. Terlebih semenjak penyitaan tanahnya oleh
Gubernur Jenderal van Hoorn, ikatan itu semakin kuat. Bahkan tidak hanya
penyitaan, Pieter diharuskan membayar denda sebanyak 3.330 ikat padi. Lengkap
sudah kebenciannya terhadap VOC. Pieter pun sering mengunjungi rumah-rumah
orang pribumi, tak jarang pula mengadakan pertemuan bersama mereka.
Rencana Pemberontakan
Pemberontakan
yang selalu disebut-sebut sebagai rencana Pieter Elberveld pun diduga muncul
dari seringnya ia mengadakan pertemuan dengan orang-orang pribumi. Pesta malam
tahun baru yang akan digelar pada tanggal 31 Desember 1721 dipilih sebagai
tanggal pelaksanaan pemberontakan tersebut, yang juga akan disertai pembunuhan
terhadap orang-orang Belanda. Seorang ningrat dari Banten, Raden Atang
Kartadriya juga ikut serta dalam rencana tersebut. Bahkan, ada 25 orang lagi
yang ikut. Kesultanan Banten pun dihubungi sebelumnya. Raden Atang bahkan
meyakinkan Pieter bahwa ada 17.000 prajurit yang akan memasuki Batavia di saat
yang sama.
Rencana tersebut kemudian diketahui oleh VOC berkat
"pengakuan" seorang budak Pieter Elberveld kepada Reykert Heere,
seorang Komisaris VOC untuk urusan bumiputera. Reykert kemudian bertindak cepat
dengan menangkap Pieter Elberveld dan mereka yang terlibat dalam perencanaan
pemberontakan. Tuduhan yang disematkan pada mereka adalah kejahatan terhadap
yang dipermuliakan. Setelah waktu 4 bulan pasca penangkapan, diputuskan oleh
Collage van Hemradeen Schepenen (Dewan Pejabat Tinggi Negara), bahwa mereka
yang terlibat dijatuhi hukuman mati. Eksekusi itu dilaksanakan di sebuah
lapangan sebelah selatan dekat balai kota. Tetapi, hukuman mati yang dijatuhkan
tidak langsung hukuman gantung atau pancung sebagaimana yang biasa diterapkan
VOC saat itu.
Pieter dan para terpidana lainnya diikat pada tiang
salib. Tangan kanan mereka dibacok hingga putus dan lengan dijepit. Dada dan
kaki mereka juga dicungkil keluar. Seolah belum puas, jantung mereka pun
dilemparkan ke wajah masing-masing terhukum. Setelah itu barulah kepala mereka
dipancung, untuk kemudian jasad mereka diikatkan pada setiap empat ekor kuda
yang akan berlari ke empat arah mata angin yang berbeda. Kuda-kuda itu kemudian
dilepaskan dan berlari ke arah yang ditentukan, hingga tubuh dan kulit
jasad-jasad mereka pecah. Setelah semua ritual keji itu dilakukan,
kepala-kepala mereka ditancapkan pada sebuah tempat di luar kota. Tempat
dieksekusinya Pieter Elberveld dan lainnya itu di masa kini dikenal dengan nama
Kampung Pecah Kulit, sebagaimana dikutip dari penuturan Alwi Shahab.
Konspirasi Politik
Mengenai
kebenaran apakah Pieter Elberveld memang merencanakan pemberontakan tersebut
atau tidak, mungkin sudah terkubur bersama kematiannya dan abadi dalam kumpulan
rahasia Tuhan. Setelah dua ratus tahun kemudian, seorang sejarawan Belanda
yakni Prof. Dr. E.C. Godee Molsbergen dalam De Nederlandsch Oostindische
Compagnie in de Achtiende eeuw, menyebutkan bahwa kematian Pieter Erberveld
bernuansa konspirasi politik. Selain adanya faktor ketamakan ekonomi VOC, ia
juga menyatakan bahwa nafsu dan intrik politik yang ada dalam VOC turut
berperan. Ia pun mempercayai bahwa isu pemberontakan yang akan dilakukan Pieter
Elberveld adalah bualan semata.
Bagi Prof. Godee, seorang Pieter Elberveld yang
terpelajar dan pintar tidak akan sembrono merencanakan sebuah aksi secara
mendadak dan tanpa persiapan. Apalagi, segala pengakuan Pieter Elberveld
didapat dari hasil penyiksaan yang dilakukan sebelum ia, Raden Atang dan
lainnya dieksekusi. Perkataannya ini pernah dimuat dalam Geschiedenis van
Nederlands Indie yang dihimpun Dr. F.W. Stapel, pada jilid keempat.
Kepala Kearsipan Negara di Hindia Belanda (1922-1937)
itu memaparkan, tiga minggu setelah penangkapan, Collage van Hemradeen
Schepenen melakukan pemeriksaan intens, terutama terhadap Pieter Erberveld,
Raden Atang Kartadriya dan Layeek (seorang pria dari Sumbawa). Ketiganya tidak
mengakui tuduhan merencanakan kejahatan terhadap yang dipermuliakan, yang
disematkan pada mereka.
Pengakuan Itu Didapat
Melalui Penyiksaan
Karena
hasil pemeriksaan itu dianggap bukan hasil yang diinginkan, Landdrost (semacam
jaksa) menempuh jalan lain agar oengakuan akan kebenaran rencana itu muncul.
Raden Atang kemudian digantungi timbangan yang pemberatnya terus menerus
ditambah. Rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen ternyata percaya dalam
perkara sihir, seorang terdakwa yang membisu apabila rambutnya dipotong ia akan
membuka mulut. Namun tetap saja Raden Atang membisu.
Giliran Layeek yang mendapat bagian. Ia disiksa agar
pengakuan tersebut bisa didapatkan. Karena mental dan daya tahan fisiknya tidak
setangguh Raden Atang, akhirnya ia mengatakan bahwa Pieter membujuknya untuk
menyusun rencana pemberontakan. Jika rencana itu berhasil maka Pieter akan
menjadi pemimpin dan para pendukungnya, sesuai partisipasi masing-masing, akan
mendapatkan imbalan yang sesuai.
Akibat "pengakuan" Layeek, tentu saja Pieter dan Raden
Atang disiksa habis-habisan. Mereka berdua yang sudah dalam keadaan fisik yang
parah terpaksa mengakui kebenaran tuduhan tersebut. Pieter juga menambahkan
Raden Atang menghasutnya untuk merencanakan aksi pemberontakan tersebut. Tak
hanya itu, Pieter juga mengatakan dokumen rencana itu disimpannya dalam sebuah
lemari tua di rumahnya. Ia bahkan menyatakan lagi telah mengadakan hubungan
dengan anak Untung Surapati melalui surat-menyurat. Sampai-sampai, ia
menyebutkan nama-nama fiktif yang terdiri dari 12 orang pangeran dari Banten
serta 13 orang pangeran dan 3 orang raden dari Cirebon. Namun tidak ada satu
pun bukti-bukti surat yang terkait dengan “pengakuan” Pieter Erberveld yang
ditemukan, meskipun telah dicari dengan teliti.
Kenyataan Tidak Wajar
Prof.
Godee Molsbergen juga menambahkan kenyataan yang tidak wajar yang terjadi dalam
proses pengadilan saat itu. Perkara pengkhianatan dalam artian criman leasae
majestatis (kejahatan terhadap yang dipermuliakan) yang seharusnya diadili oleh
Raad van Justitie, malah diserahkan pada Collage van Hemradeen Schepenen.
Pelaksanaan hukuman mati itu pun tidak dilakukan di
tempat yang biasa digunakan oleh Raad van Justitie. Pieter Erberveld dan mereka
yang ditangkap tidak diberi kesempatan membela diri, bahkan untuk diberikan
pembela pun tidak. Harta para terhukum yang seharusnya hanya disita separuhnya
pun malah disita seluruhnya.
Beberapa hari setelah Pieter Erberveld dkk dieksekusi,
Reykert Heere meminta balas jasa. Reykert memintanya karena statusnya sebagai
penerima informasi pertama tentang “pengkhianatan” Pieter Erberveld. Tanpa
menunggu lama, VOC pun menaikkan pangkatnya yang tadinya seorang Komisaris
menjadi Opperkoopman, dengan gaji sebesar 100 gulden sebulan. Karena kenaikan
pangkat ini, konspirasi politik yang melingkupi kasus “menggemparkan” tersebut semakin
kentara.
Kini, jauh setelah peristiwa itu terjadi, hanya sebuah
tugu peringatan bernada kutukan yang tersisa dari kenang-kenangan tentang
seorang Pieter Erberveld. Sosoknya yang tak pernah terabadikan dalam lukisan
maupun sketsa adalah bukti kelam di balik kejayaan Batavia.
Sumber:
Adolf Heuken dan Awi Shahab adalah sejarawan kredibel.Yg lain boleh disangsikan.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus