Sekolah pendidikan anggota Politieke Inlichtingen Dienst di Sukabumi, 1927
Politieke
Inlichtingen Dienst (Dinas Intelijen Politik, beberapa sumber menyebutnya Dinas
Informasi Politik) atau disingkat dengan istilah PID, adalah lembaga agen
keamanan di Hindia Belanda, yang boleh dikatakan sebagai polisi rahasia untuk
urusan kegiatan politik di Hindia Belanda. Sebagai polisi rahasia “andalan”
pemerintah Hindia Belanda, PID sangat dibutuhkan untuk memata-matai kegiatan
dari setiap pergerakan nasional yang ada di Hindia Belanda. Laporan yang
diperoleh dari PID akan dijadikan dasar bagi pemerintah Hindia Belanda untuk
melakukan tindakan terhadap setiap pergerakan nasional.
Kemunculan
PID diawali dengan gagasan pembentukan Kantoor Inlichtingen pada tahun 1914,
yang berada di bawah komando KNIL. Saat itu pemerintah Hindia Belanda
membutuhkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai gerak-gerik agen Jepang di
Hindia Belanda. Namun, tampaknya kebutuhan akan menghadapi
pergerakan-pergerakan nasional yang mulai marak lebih dipentingkan. PID pun
dibentuk pada tanggal 6 Mei 1916 sebagai jawaban untuk kebutuhan pemerintah
Hindia Belanda.
PID di Masa Hindia Belanda
Meski
difokuskan pada masalah kegiatan politik bumiputera di dalam Hindia Belanda,
namun PID juga diberikan “beban” untuk mengantisipasi ancaman yang datang dari
luar Hindia Belanda. Meski sempat dibubarkan pada 2 April 1919, PID dibentuk
lagi dengan nama baru yakni Algemene Recherche Dienst (ARD) pada 24 September
1919. Para aktivis pergerakan dan pers tetap mengenalnya dengan nama angker
sebelumnya, “PID”.
PID/ARD
selain berpusat di Batavia juga memiliki cabang di kota besar lain di Jawa,
seperti di Bandung, Semarang dan Surabaya. Namanya pun berbeda-beda. Di Batavia
dikenal dengan Politieke Recherche, di Bandung dikenal dengan Afdeling Vreemdelingen
en Inlichtingendienst. Sementara di Semarang dan Surabaya, PID/ARD sama dikenal
dengan Politieke Inlichtingen Dienst. Sementara di daerah-daerah lainnya,
setelah reorganisasi polisi dibentuk pula Gewestelijke Recherche (Reserse
Wilayah). GW ini difokuskan pada mata-mata terhadap kegiatan pergerakan atau
politik bumiputera di daerah khususnya Jawa dan Madura. Secara struktural,
PID/ARD berada di bawah wilayah kerja kepolisian di bawah yuridiksi Jaksa
Agung. Jaksa Agung akan menjadikan setiap laporan PID sebagai dasar untuk
mengambil tindakan yang diperlukan atas pergerakan nasional yang dianggap
membahayakan.
Mereka
yang bekerja pada PID justru adalah orang-orang pribumi. Hal ini dikarenakan
agar lebih mudah memata-matai pergerakan nasional yang ada. Mereka berpakaian
seperti penduduk sipil lainnya, tanpa seragam khusus. Dalam hal kepangkatan,
mereka mengambil dari Pangreh Praja, seperti Wedana dan Asisten Wedana. Di
bawah mereka ada orang-orang berpangkat Mantri Polisi. Di bawah Mantri Polisi
ada para agen yang nantinya akan turun ke lapangan. Selain mengandalkan agen,
PID juga membuka kesempatan bagi mereka yang mau menjadi informan lepas dengan
bayaran yang sesuai dengan nilai informasi yang diberikan. Para informan lepas
ini dikenal dengan sebutan Spionnen. Rata-rata para informan lepas ini berasal
dari kalangan bawah dan para preman.
Adapun
tugas-tugas PID di antaranya adalah memeriksa tokoh-tokoh pergerakan nasional
yang baru pulang dari luar negeri, menyita majalah-majalah yang dianggap
mengganggu ketertiban umum, menangkap tokoh-tokoh pergerakan nasional (jika ada
surat perintah penangkapan dari pemerintah Hindia Belanda), menginterupsi
pidato para tokoh nasional apabila dianggap mengganggu ketertiban umum, serta
membubarkan rapat partai jika diperlukan.
Salah
satu tugas PID dapat diketahui dari pidato Ir. Soekarno dalam rapat PNI (Partai
Nasional Indonesia) di akhir tahun 1928. Sejak awal memasuki rapat bersama para
tokoh lainnya, agen dan mata-mata PID sudah menimbulkan ketidaknyamanan di antara
para peserta rapat. Beberapa kali pula pidato beliau diinterupsi, yang kemudian
para peserta rapat menyoraki para agen dan mata-mata PID yang ikut hadir.
Mereka juga tidak berdiri menghormat ketika lagu kebangsaan diperdengarkan. Hal
serupa berlaku untuk pergerakan nasional lainnya seperti SI (Sarekat Islam), PI
(Perhimpunan Indonesia), Partindo (Partai Indonesia) dan lain-lain.
Dalam
beberapa surat kabar di zaman Hindia Belanda dapat diketahui tugas PID. PID
juga mempererat kerjasama dengan Militaire Inlichtingen Dienst (Soerabaijasch
Nieuwsblaad, 13/8/1936), melakukan pengawasan terhadap organisasi-organisasi
yang dicurigai seperti Vereeniging van Jong Arabieren Alkateria yang belakangan
tidak terbukti (Indische Courant, 19/10/1936), dan penyelidikan terhadap
Vereeniging Sasa Asma di Kutoarjo yang melakukan mogok bersama di Magelang dan
Brebes (Sumatra Post, 21/4/1939). Dua orang pembicara yang akan berpidato dalam
Grebeg Besar di Surabaya juga diperingatkan untuk tidak berbicara tentang
politik (Het Vaderland, 13/8/1936).
Pengawasan
terhadap barang-barang cetakan juga dilakukan, terutama yang dianggap
membahayakan pemerintahan Hindia Belanda. Buku “Blut und Ehre” karya seorang
penulis Nasionalis-Sosialis Alfred Rosenberg termasuk dalam kategori tersebut
(Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 28/3/1939). Tak ketinggalan
pula surat kabar Keng Po edisi nomor khusus “Lu Kou Chiao” yang berisikan
tentang peringatan serangan Jepang atas China (Het Nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 8/7/1937).
PID di Masa Perang Dunia II
Setelah Hindia Belanda diduduki Jepang, segala
bentuk administrasi pemerintahan dan kemiliteran Belanda berpindah ke
Australia. Kekosongan kekuasaan yang tidak lama itu diambil alih oleh Jepang.
Tentara pendudukan Jepang kemudian membentuk Gunseibu. Gunseibu adalah
pemerintahan sipil militer di wilayah pendudukan yang para pejabatnya diisi
oleh orang-orang Jepang, yang menangani masalah teknik, ekonomi, dan hukum.
Tentu saja pejabat yang dipilih adalah orang-orang militer Jepang yang
“meninggalkan” tugasnya untuk menangani pemerintahan sipil militer tersebut.
Kehadiran
Kenpeitai sebagai polisi yang menakutkan bagi masyarakat wilayah pendudukan
rupanya dirasa kurang cukup bagi Gunseibu di Indonesia. Mereka pun menarik
orang-orang PID yang lama maupun baru untuk dipekerjakan. Bagi mereka yang
masih baru, mereka dilatih dan dididik ala Jepang di Sukabumi.
Sementara
itu, segera setelah evakuasi ke Australia, Belanda membentuk kembali dinas
intelijen yang berada di bawah komando Laksamana Emil Helfrich. Dinas intelijen
ini dikenal dengan NEFIS (Netherland East Indies Force Intelligent Service).
NEFIS berpusat di Melbourne, Australia. Ada dua divisi NEFIS yang masing-masing
memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda. NEFIS I bertugas dan
bertanggung jawab untuk laporan militer, sementara NEFIS II bertugas dan
bertanggung jawab untuk keamanan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar