"Dispereert niet, onziet uw vijanden niet, want God is met ons"

- Jan Pieterszoon Coen (1587 - 1629)

Senin, 28 Desember 2015

Pieter Erberveld, Antara Pemberontak dan Korban Konspirasi Politik

Monumen Peringatan Hukuman Terhadap Pieter Erberveld
(Collectie Tropenmuseum, 1932)



Lelaki itu bernama Pieter Erberveld (Pieter Erberfeld/Pieter Elberfeld). Seorang lelaki yang pernah hidup di Batavia ketika VOC masih berkuasa. Namanya memang terkenal hingga masa kini. Namun, terkenalnya orang ini bukan karena berjasa kepada VOC. Pieter Erberveld menjadi terkenal karena tertangkap dan dieksekusi, terkait tuduhan merencanakan makar luar biasa terhadap orang-orang Belanda di Batavia. Bahkan, ratusan tahun setelah kematiannya pun tuduhan itu tetap melekat pada sosoknya.

Pieter Erberveld, adalah seorang lelaki keturunan Jerman yang memiliki kepedulian besar terhadap orang-orang pribumi. Karena itulah ketika VOC menyita lahan dengan alasan tidak memiliki akta tanah yang sah, orang-orang pribumi kompak berdiri dan mendukungnya, meski kemudian penyitaan tetap dilakukan. Karena kepeduliannya itu pula, tercipta sebuah ikatan antara dirinya dengan orang-orang pribumi. Mengenai siapa sebenarnya Pieter Erberveld, ada dua versi yang hampir sama. Ayahnya, Pieter Erberveld Sr. memang berasal dari Jerman, dan berprofesi sebagai pengusaha kulit binatang. Adolf Heuken menyebutkan bahwa ibu Pieter Elberveld adalah orang Siam (Thailand). Seorang sejarawan Betawi, Alwi Shahab menyebutkan bahwa ibu Pieter Elberveld adalah seorang wanita Jawa.

Jika merujuk pada Alwi Shahab, bisa dipastikan timbulnya ikatan antara Pieter Elberveld dengan orang-orang pribumi karena statusnya yang keturunan pribumi. Terlebih semenjak penyitaan tanahnya oleh Gubernur Jenderal van Hoorn, ikatan itu semakin kuat. Bahkan tidak hanya penyitaan, Pieter diharuskan membayar denda sebanyak 3.330 ikat padi. Lengkap sudah kebenciannya terhadap VOC. Pieter pun sering mengunjungi rumah-rumah orang pribumi, tak jarang pula mengadakan pertemuan bersama mereka.

Rencana Pemberontakan
Pemberontakan yang selalu disebut-sebut sebagai rencana Pieter Elberveld pun diduga muncul dari seringnya ia mengadakan pertemuan dengan orang-orang pribumi. Pesta malam tahun baru yang akan digelar pada tanggal 31 Desember 1721 dipilih sebagai tanggal pelaksanaan pemberontakan tersebut, yang juga akan disertai pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Seorang ningrat dari Banten, Raden Atang Kartadriya juga ikut serta dalam rencana tersebut. Bahkan, ada 25 orang lagi yang ikut. Kesultanan Banten pun dihubungi sebelumnya. Raden Atang bahkan meyakinkan Pieter bahwa ada 17.000 prajurit yang akan memasuki Batavia di saat yang sama.

Rencana tersebut kemudian diketahui oleh VOC berkat "pengakuan" seorang budak Pieter Elberveld kepada Reykert Heere, seorang Komisaris VOC untuk urusan bumiputera. Reykert kemudian bertindak cepat dengan menangkap Pieter Elberveld dan mereka yang terlibat dalam perencanaan pemberontakan. Tuduhan yang disematkan pada mereka adalah kejahatan terhadap yang dipermuliakan. Setelah waktu 4 bulan pasca penangkapan, diputuskan oleh Collage van Hemradeen Schepenen (Dewan Pejabat Tinggi Negara), bahwa mereka yang terlibat dijatuhi hukuman mati. Eksekusi itu dilaksanakan di sebuah lapangan sebelah selatan dekat balai kota. Tetapi, hukuman mati yang dijatuhkan tidak langsung hukuman gantung atau pancung sebagaimana yang biasa diterapkan VOC saat itu.

Pieter dan para terpidana lainnya diikat pada tiang salib. Tangan kanan mereka dibacok hingga putus dan lengan dijepit. Dada dan kaki mereka juga dicungkil keluar. Seolah belum puas, jantung mereka pun dilemparkan ke wajah masing-masing terhukum. Setelah itu barulah kepala mereka dipancung, untuk kemudian jasad mereka diikatkan pada setiap empat ekor kuda yang akan berlari ke empat arah mata angin yang berbeda. Kuda-kuda itu kemudian dilepaskan dan berlari ke arah yang ditentukan, hingga tubuh dan kulit jasad-jasad mereka pecah. Setelah semua ritual keji itu dilakukan, kepala-kepala mereka ditancapkan pada sebuah tempat di luar kota. Tempat dieksekusinya Pieter Elberveld dan lainnya itu di masa kini dikenal dengan nama Kampung Pecah Kulit, sebagaimana dikutip dari penuturan Alwi Shahab.

Konspirasi Politik
Mengenai kebenaran apakah Pieter Elberveld memang merencanakan pemberontakan tersebut atau tidak, mungkin sudah terkubur bersama kematiannya dan abadi dalam kumpulan rahasia Tuhan. Setelah dua ratus tahun kemudian, seorang sejarawan Belanda yakni Prof. Dr. E.C. Godee Molsbergen dalam De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw, menyebutkan bahwa kematian Pieter Erberveld bernuansa konspirasi politik. Selain adanya faktor ketamakan ekonomi VOC, ia juga menyatakan bahwa nafsu dan intrik politik yang ada dalam VOC turut berperan. Ia pun mempercayai bahwa isu pemberontakan yang akan dilakukan Pieter Elberveld adalah bualan semata.

Bagi Prof. Godee, seorang Pieter Elberveld yang terpelajar dan pintar tidak akan sembrono merencanakan sebuah aksi secara mendadak dan tanpa persiapan. Apalagi, segala pengakuan Pieter Elberveld didapat dari hasil penyiksaan yang dilakukan sebelum ia, Raden Atang dan lainnya dieksekusi. Perkataannya ini pernah dimuat dalam Geschiedenis van Nederlands Indie yang dihimpun Dr. F.W. Stapel, pada jilid keempat.

Kepala Kearsipan Negara di Hindia Belanda (1922-1937) itu memaparkan, tiga minggu setelah penangkapan, Collage van Hemradeen Schepenen melakukan pemeriksaan intens, terutama terhadap Pieter Erberveld, Raden Atang Kartadriya dan Layeek (seorang pria dari Sumbawa). Ketiganya tidak mengakui tuduhan merencanakan kejahatan terhadap yang dipermuliakan, yang disematkan pada mereka.

Pengakuan Itu Didapat Melalui Penyiksaan
Karena hasil pemeriksaan itu dianggap bukan hasil yang diinginkan, Landdrost (semacam jaksa) menempuh jalan lain agar oengakuan akan kebenaran rencana itu muncul. Raden Atang kemudian digantungi timbangan yang pemberatnya terus menerus ditambah. Rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen ternyata percaya dalam perkara sihir, seorang terdakwa yang membisu apabila rambutnya dipotong ia akan membuka mulut. Namun tetap saja Raden Atang membisu.

Giliran Layeek yang mendapat bagian. Ia disiksa agar pengakuan tersebut bisa didapatkan. Karena mental dan daya tahan fisiknya tidak setangguh Raden Atang, akhirnya ia mengatakan bahwa Pieter membujuknya untuk menyusun rencana pemberontakan. Jika rencana itu berhasil maka Pieter akan menjadi pemimpin dan para pendukungnya, sesuai partisipasi masing-masing, akan mendapatkan imbalan yang sesuai.

Akibat "pengakuan" Layeek, tentu saja Pieter dan Raden Atang disiksa habis-habisan. Mereka berdua yang sudah dalam keadaan fisik yang parah terpaksa mengakui kebenaran tuduhan tersebut. Pieter juga menambahkan Raden Atang menghasutnya untuk merencanakan aksi pemberontakan tersebut. Tak hanya itu, Pieter juga mengatakan dokumen rencana itu disimpannya dalam sebuah lemari tua di rumahnya. Ia bahkan menyatakan lagi telah mengadakan hubungan dengan anak Untung Surapati melalui surat-menyurat. Sampai-sampai, ia menyebutkan nama-nama fiktif yang terdiri dari 12 orang pangeran dari Banten serta 13 orang pangeran dan 3 orang raden dari Cirebon. Namun tidak ada satu pun bukti-bukti surat yang terkait dengan “pengakuan” Pieter Erberveld yang ditemukan, meskipun telah dicari dengan teliti.

Kenyataan Tidak Wajar
Prof. Godee Molsbergen juga menambahkan kenyataan yang tidak wajar yang terjadi dalam proses pengadilan saat itu. Perkara pengkhianatan dalam artian criman leasae majestatis (kejahatan terhadap yang dipermuliakan) yang seharusnya diadili oleh Raad van Justitie, malah diserahkan pada Collage van Hemradeen Schepenen.

Pelaksanaan hukuman mati itu pun tidak dilakukan di tempat yang biasa digunakan oleh Raad van Justitie. Pieter Erberveld dan mereka yang ditangkap tidak diberi kesempatan membela diri, bahkan untuk diberikan pembela pun tidak. Harta para terhukum yang seharusnya hanya disita separuhnya pun malah disita seluruhnya.

Beberapa hari setelah Pieter Erberveld dkk dieksekusi, Reykert Heere meminta balas jasa. Reykert memintanya karena statusnya sebagai penerima informasi pertama tentang “pengkhianatan” Pieter Erberveld. Tanpa menunggu lama, VOC pun menaikkan pangkatnya yang tadinya seorang Komisaris menjadi Opperkoopman, dengan gaji sebesar 100 gulden sebulan. Karena kenaikan pangkat ini, konspirasi politik yang melingkupi kasus “menggemparkan” tersebut semakin kentara.

Kini, jauh setelah peristiwa itu terjadi, hanya sebuah tugu peringatan bernada kutukan yang tersisa dari kenang-kenangan tentang seorang Pieter Erberveld. Sosoknya yang tak pernah terabadikan dalam lukisan maupun sketsa adalah bukti kelam di balik kejayaan Batavia.


Sumber:

2 komentar:

  1. Adolf Heuken dan Awi Shahab adalah sejarawan kredibel.Yg lain boleh disangsikan.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus